Senin, 04 Juli 2011

Soe Hok Gie

Wajar saja jika pertanyaan “Siapa Soe Hok Gie? akan dijawab orang berbeda-beda. Di mata mahasiswa ia adalah seorang demonstran tahun 60-an. Namun di mata pecinta alam dia adalah anak Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia) yang tewas di Semeru tahun 1969.

MELAMUN DI ATAS GENTING
“Gila! Umur 14 tahun dia sudah baca bukunya Gandhi, Tagore (Rabindranath Tagore, filsuf India-Red). Saya mungkin perlu waktu 10 tahun untuk bisa mengejar, puji Nicholas Saputra tentang Gie.

“Saya sering mendapatinya asyik membaca di bangku panjang dekat dapur, kenang kakaknya, sosiolog Arief Budiman yang kini menetap di Australia. Kakak perempuannya Dien Pranata punya kenangan berbeda. Ketika anak-anak sebayanya asyik mengejar layangan, Gie malah nongkrong di atap genting rumah. “Matanya menerawang jauh, seperti mencoba menyelami buku-buku yang dibacanya.

Selain membaca, Gie juga suka menulis buku harian. Sejak usia 15 tahun, setiap hari, ia menulis apa saja yang dialaminya. Catatan harian pertamanya bertanggal 4 Maret 1957, ketika ia masih duduk di kelas 2 SMP Stada. Catatan terakhir bertanggal 10 Desember 1969, hanya seminggu sebelum kematiannya.

BERANI MENGKRITIK
Di zaman Gie, kampus menjadi ajang pertarungan kaum intelektual yang menentang atau mendukung pemerintahan Bung Karno. Sepanjang 1966-1969 Gie berperan aktif dalam berbagai demonstrasi. Uniknya ia tak pernah menjadi anggota KAMI, organisasi yang menjadi lokomotif politik angkatan 66.

Gie lebih banyak berjuang lewat tulisan. Kritiknya pada Orde Lama dan Presiden Soekarno digelar terbuka lewat diskusi maupun tulisan di media masa. Ketika pemerintahan Soekarno ditumbangkan gerakan mahasiswa Angkatan 66, Gie memilih menyepi ke puncak-puncak gunung ketimbang menjadi anggota DPR-GR.

Sebagai anak muda, walaupun suka mengkritik dan doyan menyendiri, Gie ternyata sangat “gaul. “Penampilannya, biasa aja. Tapi kenalannya orang berpangkat dan nama-nama beken. Saya tahu, karena sering ikut dia. Misalnya saat ambil honor tulisan di Kompas atau Sinar Harapan. Nggak terbayang dia bisa kenalan dengan penyair Taufik Ismail dan Goenawan Mohamad! “, kata Badil.

TEWAS DI PUNCAK SEMERU
“Saya selalu ingat kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol, pamit, sebelum ke Semeru, begitu penggalan catatan harian Gie, Senin, 8 Desember 1969. Seminggu setelah itu, ia bersama Anton Wiyana, A. Rahman, Freddy Lasut, Idhan Lubis, Herman Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo berangkat ke Gunung Semeru.

Siapa mengira, itulah terakhir kalinya mereka mendaki bersama Gie. Tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke 27 Gie dan Idhan Lubis tewas saat turun dari puncak karena menghirup uap beracun. Herman Lantang yang berada di dekat Gie saat kejadian melihat Gie dan Idhan kejang-kejang, berteriak dan mengamuk. Herman sempat mencoba menolong dengan napas buatan, tapi gagal.

Musibah kematian Gie di puncak Semeru sempat membuat teman-temannya bingung mencari alat transportasi untuk membawa jenazah Gie ke Jakarta. Tiba-tiba sebuah pesawat Antonov milik AURI mendarat di Malang. Pesawat itu sedang berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa, Begitu mendengar kabar kematian Gie, Menteri Perhubungan saat itu Frans Seda memerintahkan pesawat berbelok ke Malang. “Saat jenasah masuk ke pesawat, seluruh awak kabin memberi penghormatan militer. Mereka kenal Gie!, kata Badil.


Jenasah Gie semula dimakamkan di Menteng Pulo. Namun pada 24 Desember 1969, dia dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang agar dekat dengan kediaman ibunya. Dua tahun kemudian, kuburannya kena gusur proyek pembangunan prasasti. Keluarga dan teman-temannya, memutuskan menumbuk sisa-sisa tulang belulang Gie.

“Serbuknya kami tebar di antara bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawangi di Puncak Pangrango. Di tempat itu Gie biasa merenung seperti patung, kata Rudy Badil.
Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.

Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi:
蘇福義). Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.

Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).

Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.

Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Catatan Seorang Demonstran

Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).

Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.

Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat tiga hari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.

John Maxwell menulis biografi Soe Hok Gie dengan judul Soe Hok Gie - A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian National University, 1997).

Rabu, 04 Mei 2011

thanks Erdian Aji

aku disini cuman bisa bilang : "WOW!" buat Erdian Aji -mantan vokalis Drive- setelah aku baca beberapa tulisannya -TERIAKAN PANJANG- di blognya www.erdianaji.com
bayak inspirasi, pembelajaran dan kesan yang aku dapatkan untuk hidupku
benar-benar bisa menjadi inspirator.

bagaimana ya kalau saya benar-benar kenal dekat dengan dia?
hehe :)

Selasa, 26 April 2011

“Apa pun yang bisa kamu lakukan, atau kamu bayangkan kamu bisa, lakukanlah. Di dalam keberanian terdapat kejeniusan, kekuatan, dan keajaiban.”

(Goethe)
Selama suatu rahasia tersimpan aman di hatimu, kamulah tuannya, dan kamu bisa menungganginya. Tetapi begitu kamu membukanya, dialah yang menjadi tuanmu dan menunggangimu.
(Anonim)
Manusia-manusia yang tidak pernah miskin, sedikit kaitannya dengan tingkatan material maupun spiritual seseorang, melainkan lebih pada seberapa baik dan seberapa besar ia menikmati dan mensyukuri hidupnya.
Begitu kemampuan menikmati dan mensyukuri terakhir melekat dalam pada kehidupan seseorang, maka masuklah ia dalam kelompok manusia yang tidak akan pernah miskin.
(Gede Prama)
Manusia harus terus belajar selama hidupnya.
Manusia akan senang jika menemukan hal baru.
Kita belajar bukan untuk menjadi menteri, mendapat gelar dan sukses.
Lalu, kenapa kita belajar?
Sebab itulah misi manusia.
(Master Keaton – Naoki Urusawa & Hokusei Katsushika)
Pakaian menyembunyikan banyak keindahan,
namun tisak mampu menutupi keburukan.
Dan walaupun dalam bersandang
engkau mencari kebebasan untuk melindungi diri,
engkau mungkin akan mendapatkan belenggu ketopong serta rantai besi.
Janganlah engkau lupa,
bahwa kesantunan insan adalah perisai penolak pandangan
dari pemandangan yang tidak suci telah tiada lagi,
Maka apakah rasa malu, selain dari sebuah noda, pencemaran budi?
Dan jangan lupakan,
bahwa bumi senang merasakan telapak kakimu yang berjalan tanpa alas.
Serta angin pun selalu rindu bermain dengan rambutmu.
(Sang Nabi – Gibran)
Pencapaian terbesar pada mulanya dan selama beberapa waktu adalah sebuah mimpi. Pohon ek tidur dalam bijinya; burung menunngu dalam telurnya; dan dalam bayangan jiwa tertinggi, malaikat yang terjaga pun bergerak. Impian adalah persemaian kenyataan.
Women are made from the ribs of men,
not from his head to top him,
or from his feet to be stepped upon.
But from his side to be close to him,
Beneath his arm to be protected by him,
Near his heart to be loved by him.
(Anonymous)

Senin, 04 April 2011

Anakmu bukan milikmu
Putri sang hidup yang rindu pada diri sendiri
Lewat engkau mereka lahir,
Tapi bukan dari engkau
Berikan mereka kasih sayangmu
Tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu
Sebab pada mereka ada alam pikiran sendiri
Kau boleh berusaha menyerupai mereka
Tapi jangan membuat mereka menyerupaimu
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur
Pun tenggelam di masa lampau
Kaulah busur dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur
Sang pemanah mahatahu sasaran bidikan keabadian
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan sang Pemanah
Sebab Dia mengasihi anak panah yang meluncur laksana kilat
Sebagaimana dikasihi-Nya pula busur yang mantap
(Sang Nabi – Gibran)
I Each person is unique and irreplaceable
Everyone’s got his own features and skills
In everyone’s chest beats a different heart
We’re all alike but still deeply different
If you think it over, it’s anything but unfair
It’s the reason for which it’s worth
To exist and be friends
Because of this, everyone of us has something special
(Bell Dandy – Aats! Megami-sama)

Terasingkan

Hidup ini sulit. Hidup ini seperti roda yang selalu berputar. Terkadang kita di atas, namun tidak menutup kemungkinan juga kita ada di bawah. Begitu juga yang terjadi di kehidupanku. Awal masuk SMA aku merasakan kesolidan kelas yang nggak ternilai indahnya. Kita seperti layaknya sebuah keluarga yang tidak akan pernah bercerai.
Namun keadaan itu tidak bertahan lama. Kesolidan yang selama ini aku rasakan perlahan luntur. Nggak ada lagi yang namanya bercanda bareng satu kelas. Memang, kelas tidak menjadi kaku. Namun aku merasa kelas menjadi dua bagian. Kita umpamakan sebagai satu kelompok popular dan satu kelompok lainnya terasingkan.
Ketika aku menyadari hal itu, jujur saja aku bimbang. Aku tidak bisa memilih satu dari kelompok-kelompok itu. Aku beruaha netral dan berteman dengan siapa saja. Itu mudah bagiku namun sangat sulit dipamahami oleh kedua pihak. Ketika aku sedang berada di dekat kelompok popular, maka kelompok terasingkan merasa aku pro dengan kelompok popular. Begitu juga sebaliknya, padahal aku bermaksud untuk tidak memihak manapun. Aku serba salah jadinya.
Aku berusaha untuk mempersatukan mereka semua. Berbagai cara akan aku lakukan. Mulai mengajak ngobrol ‘pentolan’ kedua belah pihak, mengadakan game yang membutuhkan team work kelas, membuat status Facebook dengan kalimat-kalimat bijak-berharap mereka membaca dan sadar, sampai meminta bantuan guru BK. Namun semua yang kulakukan hasilnya nihil. Mereka nggak merespon apalagi mengubah perilaku mereka.
Aku sekarang hanya bisa berharap semua kembali normal seperti dahulu. Aku berusaha memahami kedua belah pihak. Bagaimana ada di pihak anak-anak popular,

Sudah Demokrasi-kah kita?

Negara kita memang negara demokrasi,namun bukan berarti rakyatnya telah menjalankan segala sesuatu dengan prinsip demokrasi tersebut. Bebrapa waktu yang lalu, saya share dengan bebrapa orang. Yang saya pahami dari perbincangan-perbincangan iu adalah mereka merasa Negara ini belum sepenuhnya demokrasi. Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah (Soe Hok Gie – Sekali Lagi).
Kita ambil contoh, ketika seorang anak menyuarakan impiannya kepada orang tua mereka. Namun yang diterima oleh anak itu adalah ocehan atau ceramah dari orang tua anak tersebut. Orang tua malah balik menuntut anak tersebut menjadi apa yang seperti orang tua harapka. Memang, salah satu bakti kita kepada orang tua adalah menuruti perintahnya. Namun apakah itu masih wajar jika yang diharapkan orang tua tidak sesuai dengan impian sang anak? Apakah nantinya akan berjalan normal? Atau malah akan menjadi sebuah tekanan batin di dalam diri sang anak? Pertanyaan itu banyak dilontarkan oleh masyarakat. Namun masih banyak rancu akan solusi dari masalah tersebut. Kebanyakan masyarakat memberi solusi hanya memndang satu sisi. Padahal pemberian solusi dengan cara ini dianggap tidak adil oleh salah satu pihak.
Yang perlu diingat, anak bukanlah boneka orang tua. Anak juga memiliki hati dan perasaan. Serta memiliki beragam mimpi yang ingin dicapai sang anak. Dari sudut pandang anak, orang tua seharusnya mendukung dan tidak lupa memberikan arahan kepada anak. Bukan berarti menetapkan sang anak harus menjadi apa yang orang tua inginkan. Sedangkan dari sudut pandang orang tua, mereka ingin sang buah hati ada di jalan yang benar. Tidak menyimpang dari norma agama, hokum, ataupun noRma-norma lain yang berlaku di masyarakat. Bagaimanapun juga rasa khawatir serta perhatian orang tua terhadap anak begitu besar.
Contoh bentuk belum terwujudnya rasa demokrasi lainnya terdapat pada hubungan antara siswa dengan guru. Memang sebagian guru telah menerapkan metode yang bisa membuat siswa menyuarakan pendapatnya. Namun mereka jarang mendapatkan respon positif terhadap pendapatnya itu. Kebanyakan guru tidak bisa menerima pendapat siswa yang berbeda dengan pendapat dirinya. Padahal siswa tidak sepenuhnya salah atas pendapatnya. Dan guru juga tidak sepenuhnya benar atas pendapatnya tersebut. Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau (Soe Hok Gie – Sekali Lagi).
Kebanyakan masyarakat belum bisa menerima sebuah pendapat yang berbeda dengan dirinya. Padahl sah-sah saja jika kita mempunyai pendapat yang berbeda, asalkan tidak menyimpang. Anggapan masyarakat bahwa berbeda itu salah membuat sebagian orang enggan membuat pendapat yang berbeda. Apakah kita tetap akan mengikuti sesuatu yang salah, jika kita tidak mau memberikan pendapat kita? Apa salahnya jika kita mempunyai pendapat yang berbeda? Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia (Soe Hok Gie – Sekali Lagi).
Namun kita juga harus berbesar hati menerima segala pendapat yang berbeda dengan kita. Dan kita harus berbesar hati juga jika pendapat kita tidak dapat diterima. So, mari kita gunakan hak kita sebagai warga Negara untuk berpendapat. Demi pembangunan dan perkembangan Negara ke arah yang lebih baik.



Balikpapan, 31 Maret 2011


Dini Ayu Aprini
Beruang Kutub
Angin Ribut (VIII)