Selasa, 26 April 2011

“Apa pun yang bisa kamu lakukan, atau kamu bayangkan kamu bisa, lakukanlah. Di dalam keberanian terdapat kejeniusan, kekuatan, dan keajaiban.”

(Goethe)
Selama suatu rahasia tersimpan aman di hatimu, kamulah tuannya, dan kamu bisa menungganginya. Tetapi begitu kamu membukanya, dialah yang menjadi tuanmu dan menunggangimu.
(Anonim)
Manusia-manusia yang tidak pernah miskin, sedikit kaitannya dengan tingkatan material maupun spiritual seseorang, melainkan lebih pada seberapa baik dan seberapa besar ia menikmati dan mensyukuri hidupnya.
Begitu kemampuan menikmati dan mensyukuri terakhir melekat dalam pada kehidupan seseorang, maka masuklah ia dalam kelompok manusia yang tidak akan pernah miskin.
(Gede Prama)
Manusia harus terus belajar selama hidupnya.
Manusia akan senang jika menemukan hal baru.
Kita belajar bukan untuk menjadi menteri, mendapat gelar dan sukses.
Lalu, kenapa kita belajar?
Sebab itulah misi manusia.
(Master Keaton – Naoki Urusawa & Hokusei Katsushika)
Pakaian menyembunyikan banyak keindahan,
namun tisak mampu menutupi keburukan.
Dan walaupun dalam bersandang
engkau mencari kebebasan untuk melindungi diri,
engkau mungkin akan mendapatkan belenggu ketopong serta rantai besi.
Janganlah engkau lupa,
bahwa kesantunan insan adalah perisai penolak pandangan
dari pemandangan yang tidak suci telah tiada lagi,
Maka apakah rasa malu, selain dari sebuah noda, pencemaran budi?
Dan jangan lupakan,
bahwa bumi senang merasakan telapak kakimu yang berjalan tanpa alas.
Serta angin pun selalu rindu bermain dengan rambutmu.
(Sang Nabi – Gibran)
Pencapaian terbesar pada mulanya dan selama beberapa waktu adalah sebuah mimpi. Pohon ek tidur dalam bijinya; burung menunngu dalam telurnya; dan dalam bayangan jiwa tertinggi, malaikat yang terjaga pun bergerak. Impian adalah persemaian kenyataan.
Women are made from the ribs of men,
not from his head to top him,
or from his feet to be stepped upon.
But from his side to be close to him,
Beneath his arm to be protected by him,
Near his heart to be loved by him.
(Anonymous)

Senin, 04 April 2011

Anakmu bukan milikmu
Putri sang hidup yang rindu pada diri sendiri
Lewat engkau mereka lahir,
Tapi bukan dari engkau
Berikan mereka kasih sayangmu
Tapi jangan sodorkan bentuk pikiranmu
Sebab pada mereka ada alam pikiran sendiri
Kau boleh berusaha menyerupai mereka
Tapi jangan membuat mereka menyerupaimu
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur
Pun tenggelam di masa lampau
Kaulah busur dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur
Sang pemanah mahatahu sasaran bidikan keabadian
Meliuklah dengan sukacita dalam rentangan sang Pemanah
Sebab Dia mengasihi anak panah yang meluncur laksana kilat
Sebagaimana dikasihi-Nya pula busur yang mantap
(Sang Nabi – Gibran)
I Each person is unique and irreplaceable
Everyone’s got his own features and skills
In everyone’s chest beats a different heart
We’re all alike but still deeply different
If you think it over, it’s anything but unfair
It’s the reason for which it’s worth
To exist and be friends
Because of this, everyone of us has something special
(Bell Dandy – Aats! Megami-sama)

Terasingkan

Hidup ini sulit. Hidup ini seperti roda yang selalu berputar. Terkadang kita di atas, namun tidak menutup kemungkinan juga kita ada di bawah. Begitu juga yang terjadi di kehidupanku. Awal masuk SMA aku merasakan kesolidan kelas yang nggak ternilai indahnya. Kita seperti layaknya sebuah keluarga yang tidak akan pernah bercerai.
Namun keadaan itu tidak bertahan lama. Kesolidan yang selama ini aku rasakan perlahan luntur. Nggak ada lagi yang namanya bercanda bareng satu kelas. Memang, kelas tidak menjadi kaku. Namun aku merasa kelas menjadi dua bagian. Kita umpamakan sebagai satu kelompok popular dan satu kelompok lainnya terasingkan.
Ketika aku menyadari hal itu, jujur saja aku bimbang. Aku tidak bisa memilih satu dari kelompok-kelompok itu. Aku beruaha netral dan berteman dengan siapa saja. Itu mudah bagiku namun sangat sulit dipamahami oleh kedua pihak. Ketika aku sedang berada di dekat kelompok popular, maka kelompok terasingkan merasa aku pro dengan kelompok popular. Begitu juga sebaliknya, padahal aku bermaksud untuk tidak memihak manapun. Aku serba salah jadinya.
Aku berusaha untuk mempersatukan mereka semua. Berbagai cara akan aku lakukan. Mulai mengajak ngobrol ‘pentolan’ kedua belah pihak, mengadakan game yang membutuhkan team work kelas, membuat status Facebook dengan kalimat-kalimat bijak-berharap mereka membaca dan sadar, sampai meminta bantuan guru BK. Namun semua yang kulakukan hasilnya nihil. Mereka nggak merespon apalagi mengubah perilaku mereka.
Aku sekarang hanya bisa berharap semua kembali normal seperti dahulu. Aku berusaha memahami kedua belah pihak. Bagaimana ada di pihak anak-anak popular,

Sudah Demokrasi-kah kita?

Negara kita memang negara demokrasi,namun bukan berarti rakyatnya telah menjalankan segala sesuatu dengan prinsip demokrasi tersebut. Bebrapa waktu yang lalu, saya share dengan bebrapa orang. Yang saya pahami dari perbincangan-perbincangan iu adalah mereka merasa Negara ini belum sepenuhnya demokrasi. Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah (Soe Hok Gie – Sekali Lagi).
Kita ambil contoh, ketika seorang anak menyuarakan impiannya kepada orang tua mereka. Namun yang diterima oleh anak itu adalah ocehan atau ceramah dari orang tua anak tersebut. Orang tua malah balik menuntut anak tersebut menjadi apa yang seperti orang tua harapka. Memang, salah satu bakti kita kepada orang tua adalah menuruti perintahnya. Namun apakah itu masih wajar jika yang diharapkan orang tua tidak sesuai dengan impian sang anak? Apakah nantinya akan berjalan normal? Atau malah akan menjadi sebuah tekanan batin di dalam diri sang anak? Pertanyaan itu banyak dilontarkan oleh masyarakat. Namun masih banyak rancu akan solusi dari masalah tersebut. Kebanyakan masyarakat memberi solusi hanya memndang satu sisi. Padahal pemberian solusi dengan cara ini dianggap tidak adil oleh salah satu pihak.
Yang perlu diingat, anak bukanlah boneka orang tua. Anak juga memiliki hati dan perasaan. Serta memiliki beragam mimpi yang ingin dicapai sang anak. Dari sudut pandang anak, orang tua seharusnya mendukung dan tidak lupa memberikan arahan kepada anak. Bukan berarti menetapkan sang anak harus menjadi apa yang orang tua inginkan. Sedangkan dari sudut pandang orang tua, mereka ingin sang buah hati ada di jalan yang benar. Tidak menyimpang dari norma agama, hokum, ataupun noRma-norma lain yang berlaku di masyarakat. Bagaimanapun juga rasa khawatir serta perhatian orang tua terhadap anak begitu besar.
Contoh bentuk belum terwujudnya rasa demokrasi lainnya terdapat pada hubungan antara siswa dengan guru. Memang sebagian guru telah menerapkan metode yang bisa membuat siswa menyuarakan pendapatnya. Namun mereka jarang mendapatkan respon positif terhadap pendapatnya itu. Kebanyakan guru tidak bisa menerima pendapat siswa yang berbeda dengan pendapat dirinya. Padahal siswa tidak sepenuhnya salah atas pendapatnya. Dan guru juga tidak sepenuhnya benar atas pendapatnya tersebut. Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau (Soe Hok Gie – Sekali Lagi).
Kebanyakan masyarakat belum bisa menerima sebuah pendapat yang berbeda dengan dirinya. Padahl sah-sah saja jika kita mempunyai pendapat yang berbeda, asalkan tidak menyimpang. Anggapan masyarakat bahwa berbeda itu salah membuat sebagian orang enggan membuat pendapat yang berbeda. Apakah kita tetap akan mengikuti sesuatu yang salah, jika kita tidak mau memberikan pendapat kita? Apa salahnya jika kita mempunyai pendapat yang berbeda? Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia (Soe Hok Gie – Sekali Lagi).
Namun kita juga harus berbesar hati menerima segala pendapat yang berbeda dengan kita. Dan kita harus berbesar hati juga jika pendapat kita tidak dapat diterima. So, mari kita gunakan hak kita sebagai warga Negara untuk berpendapat. Demi pembangunan dan perkembangan Negara ke arah yang lebih baik.



Balikpapan, 31 Maret 2011


Dini Ayu Aprini
Beruang Kutub
Angin Ribut (VIII)