Senin, 04 April 2011

Sudah Demokrasi-kah kita?

Negara kita memang negara demokrasi,namun bukan berarti rakyatnya telah menjalankan segala sesuatu dengan prinsip demokrasi tersebut. Bebrapa waktu yang lalu, saya share dengan bebrapa orang. Yang saya pahami dari perbincangan-perbincangan iu adalah mereka merasa Negara ini belum sepenuhnya demokrasi. Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah (Soe Hok Gie – Sekali Lagi).
Kita ambil contoh, ketika seorang anak menyuarakan impiannya kepada orang tua mereka. Namun yang diterima oleh anak itu adalah ocehan atau ceramah dari orang tua anak tersebut. Orang tua malah balik menuntut anak tersebut menjadi apa yang seperti orang tua harapka. Memang, salah satu bakti kita kepada orang tua adalah menuruti perintahnya. Namun apakah itu masih wajar jika yang diharapkan orang tua tidak sesuai dengan impian sang anak? Apakah nantinya akan berjalan normal? Atau malah akan menjadi sebuah tekanan batin di dalam diri sang anak? Pertanyaan itu banyak dilontarkan oleh masyarakat. Namun masih banyak rancu akan solusi dari masalah tersebut. Kebanyakan masyarakat memberi solusi hanya memndang satu sisi. Padahal pemberian solusi dengan cara ini dianggap tidak adil oleh salah satu pihak.
Yang perlu diingat, anak bukanlah boneka orang tua. Anak juga memiliki hati dan perasaan. Serta memiliki beragam mimpi yang ingin dicapai sang anak. Dari sudut pandang anak, orang tua seharusnya mendukung dan tidak lupa memberikan arahan kepada anak. Bukan berarti menetapkan sang anak harus menjadi apa yang orang tua inginkan. Sedangkan dari sudut pandang orang tua, mereka ingin sang buah hati ada di jalan yang benar. Tidak menyimpang dari norma agama, hokum, ataupun noRma-norma lain yang berlaku di masyarakat. Bagaimanapun juga rasa khawatir serta perhatian orang tua terhadap anak begitu besar.
Contoh bentuk belum terwujudnya rasa demokrasi lainnya terdapat pada hubungan antara siswa dengan guru. Memang sebagian guru telah menerapkan metode yang bisa membuat siswa menyuarakan pendapatnya. Namun mereka jarang mendapatkan respon positif terhadap pendapatnya itu. Kebanyakan guru tidak bisa menerima pendapat siswa yang berbeda dengan pendapat dirinya. Padahal siswa tidak sepenuhnya salah atas pendapatnya. Dan guru juga tidak sepenuhnya benar atas pendapatnya tersebut. Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau (Soe Hok Gie – Sekali Lagi).
Kebanyakan masyarakat belum bisa menerima sebuah pendapat yang berbeda dengan dirinya. Padahl sah-sah saja jika kita mempunyai pendapat yang berbeda, asalkan tidak menyimpang. Anggapan masyarakat bahwa berbeda itu salah membuat sebagian orang enggan membuat pendapat yang berbeda. Apakah kita tetap akan mengikuti sesuatu yang salah, jika kita tidak mau memberikan pendapat kita? Apa salahnya jika kita mempunyai pendapat yang berbeda? Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia (Soe Hok Gie – Sekali Lagi).
Namun kita juga harus berbesar hati menerima segala pendapat yang berbeda dengan kita. Dan kita harus berbesar hati juga jika pendapat kita tidak dapat diterima. So, mari kita gunakan hak kita sebagai warga Negara untuk berpendapat. Demi pembangunan dan perkembangan Negara ke arah yang lebih baik.



Balikpapan, 31 Maret 2011


Dini Ayu Aprini
Beruang Kutub
Angin Ribut (VIII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar